1.
Pengertian Ratifikasi
Menurut
Ensiklopedia Indonesia, ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh
parlemen, khususnya pengesahan undang-undang perjanjian Internasional dan persetujuan
hukum internasional.
Ratifikasi dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a.
Ratifikasi oleh badan eksekutif.
Ratifikasi ini biasanya dilakukan oleh raja-raja absolut dan pemerintahan
otoriter.
b.
Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem
ini jarang digunakan
c. Ratifikasi
campuran, yaitu ratifikasi yang dilakukan oleh eksekutif kemudian disahkan oleh
badan legislatif negara yang mengadakan perjanjian. Sistem ini pada umumnya
dianut negara-negara di dunia sekarang ini.
2.
Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Berdasarkan
kajian yuris-historis, perkembangan hukum internasional yang sebagian besar
berasal dari Eropa Barat (baca: Yunani dan Romawi) adalah suatu system hukum
masyarakat bangsa-bangsa yang konsep, kaedah dn prinsip-prinsip hukumnya berasal
dari kaedah-kaedah hukum nasional Romawi yang tumbuh dan berkembang melalui
kebiasaan-kebiasaan internasional (internasional customary). pembahasan secara teoretis perlu
dikembangkan dan mengemukakan aliran-aliran hukum yang mempersoalkannya.
Teori-Teori Mengenai Hubungan
Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional.
Dua teori utama yang dikenal adalah monisme
dan dualisme, menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya; menurut teori
dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum
yang sama sekali berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari
hukum nasional. Karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori
dualisme, kadang-kadang dinamakan teori pluralistik, tetapi sesungguhnya
istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak membingungkan.
1) Dualisme
Barangkali tepat mengatakan bahwa
para penulis hukum internasional (misalnya Suarez) tidak akan pernah
meragukan bahwa suatu konstruksi monistis dari dua sistem hukum merupakan
satu-satunya pendapat yang benar, dengan keyakinan bahwa hukum alam menentukan
hukum bangsa-bangsa dan keberadaan negara-negara. Akan tetapi pada abad
kesembilan belas dan kedua puluh berkembang tendensi kuat kearah pandangan
dualis, hal ini sebagian merupakan akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnnya
dari Hegel) yang menekankan kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian
lagi merupakan akibat munculnya pembuat Undang-Undang di negara-negara modern
dengan kedaulatan hukum intern yang lengkap.
A. Subyek-subyek hukum nasional
adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah
semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara.
b. Sumber-sumber hukum keduanya
berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum
internasional adalah kehendak bersama (Gemeinwille) dari negara-negara.
Anzilotti menganut suatu pendekatan yang
berbeda; ia membedakan hukum internasional dan hukum nasioanal menurut
prinsip-prinsip fundamental yang mana masing-masing sistem itu ditentukan.
Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma
fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan sistem
hukum internasional ditentukan oleh prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu
perjanjian antara negara-negara harus di junjung tinggi. Dengan demikian kedua
sistem itu sama sekali terpisah, dan Anzilotti lebih lanjut mengatakan
bahwa kedua sistem tersebut terpisah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin
akan terjadi pertentangan diantara keduannya; yang mungkin adalah
penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang
lain, selain daripada itu tidak terdapat hubungan apa-apa. Mengenai teori
Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang telah
dikemukakan, tidak benar bahwa Pacta Sunt Servanda harus di anggap
sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan
sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum
internasional.
Jadi Teori ini menyatakan bahwa
hukum internasional dan hukum nasional masing-masing merupakan dua system yang
berbeda satu sama lain. Lahirnya pandangan dualisme ini karena dua factor
penyebab, yaitu karena doktrin-doktrin filosofis yang menandaskan kedaulatan
kehendak negara dan tumbuhnya kedaulatan hukum intern yang sempurna. Pandangan
dualisme tersebut mempunyai sejumlah akibat yang penting, yaitu:
-
Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau
berdasarkan pada perangkat hukum yang lain.
-
Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang ada hanya
penunjukkan saja.
-
Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
Dengan kata lain hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan
dan menjadi hukum.
Keberatan terbesar terhadap teori
dualisme adalah pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum
internasional tidak dapat menerangkan secra memuaskan kenyataan bahwa dalam
praktik sering hukum nasional itu tunduk atai sesuai dengan hukum
internasional.
2) Monisme
Penulis-penulis modern yang
mendukung konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar
pandangannya pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern
dari sistem-sistem hukum tersebut.
Berbeda dengan para penulis yang
menganut teori dualisme, pengikut –pengikut teori monisme menganggap semua
hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum
yang mengikat baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu,
atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu
pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan, dan point yang
menentukan karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang
sebenarnya apa bukan. Jika secara hipotesis diakui hukum internasional
merupakan suatu kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen
(1881-1973) dan penulis monitis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa
kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan
kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian suatu konstruksi selain
monisme, khususnya dualisme, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum
yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monitis tidak akan
berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya
merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling
berkaitan di dalam suatu struktur hukum.
Namun ada penulis-penulis lain yang
mendukung monisme berdasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak
semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah
yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional
keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat
segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual. Dengan perkataan
lain, individu-lah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum
tersebut.
Penganut teori monoisme berpendapat bahwa hukum
internasional dan hukum
nasional merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan pada satu struktur hukum. Akibat dari pandangan ini adalah bahwa antara keduanya mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam teori monoisme berkenaan dengan masalah penekanan/pengutamaan. Satu pihak menyatakan monoisme dengan mengutamakan (primat) hukum nasional, dan pihak lain dengan pengutamaan (primat) hukum internasional.
Menurut pandangan monoisme dengan primat hukum nasional, maka hukum nasional tidak lain adalah sebagai kelanjutan dari hukum nasional belaka, atau tidak lain adalah bahwa hukum internasional itu merupakan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Ini berarti bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
nasional merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan pada satu struktur hukum. Akibat dari pandangan ini adalah bahwa antara keduanya mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam teori monoisme berkenaan dengan masalah penekanan/pengutamaan. Satu pihak menyatakan monoisme dengan mengutamakan (primat) hukum nasional, dan pihak lain dengan pengutamaan (primat) hukum internasional.
Menurut pandangan monoisme dengan primat hukum nasional, maka hukum nasional tidak lain adalah sebagai kelanjutan dari hukum nasional belaka, atau tidak lain adalah bahwa hukum internasional itu merupakan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Ini berarti bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
-
Bahwa tidak ada organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan
negara-negara di dunia ini.
-
Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak
di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian
internasional, jadi wewenang konstitusional.
Faham monoisme dengan primat hukum nasional ini mempunyai
sejumlah kelemahan, yaitu:
-
Faham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata
sebagai hukum-hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumber
perjanjian internasional, suatu hal yang jelas tidak benar.
-
Bahwa pada hakekatnya faham monoisme denagn primat hukum nasional ini merupakan
penyangkalan atas adanya hukum internasional yang mengikat negara-negara.
Sebabnya, jika terikatnya negara-negara pada hukum internasional digantungkan
kepada hukum nasional, ini sama saja dengan menggantungkan berlakunya hukum
internasional atas kemauan negara iru sendiri. Keterikatan ini dapat ditiadakan
jika negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum internasional.
Menurut faham monoisme dengan primat
hukum internasional, maka hukum nasional itu bersumber pada hukum
internasional, yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat ketentuan
hukum yang hierarkis lebih tinggi. Menurut faham ini, hukum nasional tunduk
pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan
suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Faham monoisme dengan primat hukum
internasional inipun tidak luput dari kelemahan. Adapun kelemahan faham
monoisme dengan primat hukum internasional adalah:
-
Pandangan bahwa hukum nasional itu tergantung dari hukum internasional, yang
berarti mendalikan bahwa hukum internasional telah ada terlebih dahulu dari
hukum nasional bertentangan dengan kenyataan sejarah. Berdasarkan kenyataan
sejarah, hukum nasional telah ada sebelum adanya hukum internasional.
-
Dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya diperoleh dari hkum
internasional tidak dapat dipertahankan. Menurut kenyataannya,
wewenang-wewenang suatu negara nasional misalnya yang bertalian dengan
kehidupan antara negara seperti misalnya kompetensi untuk mengadakan perjanjian
internasional, sepenuhnya wewenang hukum nasional.
3. Proses Ratifikasi
Perjanjian Internasional menurut UUD 1945
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.
Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.
“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.
Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.
“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.
perjanjian perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut :
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.
perjanjian perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut :
a. soal-soal politik atau
soal-soal yang dapat memengaruhi haluan politik negara seperti
perjanjian-perjanjian persahabatan dan perjanjian-perjanjian perubahan wilayah
atau tapal batas.
b. ikatan-ikatan yang demikian
rupa sifatnya sehingga dapat memengaruhi haluan politik negara, perjanjian
ekonomi atau pinjaman uang
c. soal-soal yang menurut UUD atau
menurut sistem perundingan harus diatur dengan undang undang seperti soal
kewarganegaraan atau kehakiman.
d. perjanjian lainnya diluar pihak
tersebut, biasanya hanya berbentuk agreement yang perlu diberitahukan kepada
DPR
4. Proses Ratifikasi Hukum Perjanjian Internasional menurut
UU No.24 tahun 2000
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
2. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification),
aksesi( accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (
ap-prova/).
3. Surat Kepercayaan (Credentials) adalah
surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada
satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri,
merundingan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional
4. Organisasi Internasional adalah organisasi antar
pemerintah yang diakui sebaga
subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas
untuk membuat perjanjian
internasional
5. Menteri memberikan pertimbangan politis dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.
6. Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri
pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Penandatangan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain
sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
7. Pembuatan perjanjian
internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan
naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
8. Penandatanganan suatu perjanjian internasional
merupakan persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah
dihasilkan dan/atau merupakan
pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif
sesuai dengan kesepakatan para pihak.
9. Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
10. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang- undang apabila berkenaan dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan
keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
11. Dalam mengesahkan suatu perjanjian
internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun non departemen, menyiapkan salinan naskah
perjanjian, terjemahan, rancangan undangundang, atau rancangan keputusan
presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain
yang diperlukan.
12. Perjanjian internasional berakhir apabila :
a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur
yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau
melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan
perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum
internasional;
g. objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan
nasional
pertanyaan :
1. Jelaskan
pengertian ratifikasi !
2. Jelaskan
pengertian hukum Internasional dan hukum nasional menurut teori Monisme !
3. Jelaskan
pengertian hukum Internasional dan hukum nasional menurut teori Dualisme !
4. Sebutkan
2 faktor penyebab lahirnya pandangan dualisme !
5. Apa
saja alasan yang menyebutkan bahwa hukum Internasional bersumber pada hukum
nasional ?
6. Sebutkan
kelemahan faham monisme dengan primat hukum nasional !
7. Pasal
11 yang berjudul kekuasaan pemerintah negara di dalam substansi pasalnya
mengatur tentang apa?
8. Apa
kedudukan presiden dalam sistem presidensiil?
9. Sebutkan
perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR !
10. Apa
arti perjanjian Internasional menurut UU no.24 tahun 2000 ?
bagus sekali dan bermanfaat jangan lupa lihat berita terbaru dibawah ini
BalasHapusKebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan